Rabu, 23 Maret 2011

Berani!

Dalam kesederhanaan sebuah teori pikir, maka keberanian akan selalu memiliki peran besar dalam upaya pemenangan sebuah persaingan. Begitu juga dalam hidup, keberanian tetap diperlukan. Karena salah satu perspektif kehidupan juga merupakan persaingan, bukan?

Bersebab keberanian selalu mendapatkan tempat positif dalam berbagai cerita zaman, maka tokoh-tokoh kebaikan pun selalu digambarkan dengan keberanian yang tinggi menjulang. Berbicara tentang keberanian dan tokoh yang memerankan, saya punya satu referensi yang dapat saya jadikan acuan tolak ukur keberanian.

Pada salah satu sudut lampu merah jalan metropolitan, saya mengenal sosok seorang anak yang kiranya layak menjadi panutan. Umurnya kira-kira tiga belas tahunan. Wajahnya kumal, namun bola matanya begitu tajam menyiratkan keberanian. Kaki kanannya terlihat agak bengkok, sehingga jika berjalan akan terlihat pincang dan sedikit kesusahan. Hari-harinya dihabiskan berdua dengan adik perempuannya yang kalau ditaksir usianya pasti takkan lebih dari tiga tahunan. Ia bekerja menjual koran. Sedang untung yang bisa ia dapat dari sebuah kertas panjang itu tak lebih dari dua ratusan. Pendapatannya sehari... cukuplah buat makan siang dan malam. Begitu pun ia tetap senang.

Koran dipangku di tangan. Sedang sang adik dipapah selendang di punggung bagian belakang. Lalu ia mulai berjalan. Koran... koran..., itu ucapan khasnya untuk menarik pembeli. Orang tua? Saya tak tahu pasti bagaimana keadaannya. Hanya saja, lewat sekilas cerita yang saya dengar dari bibirnya, katanya sudah tujuh tahun ia tak bertemu dengan mereka.

“Terakhir kali aku liatnya ya di lampu merah ini, Bang,” begitu sedikit penjelasannya.

Senyum terbaik selalu ia persembahkan untuk pelanggan-pelanggannya. Tak perduli apakah saat itu matahari tengah panas bersinar atau mungkin hujan tengah deras mengguyur. Ia tetap tersenyum.

“Ga capek-nya dek kau rasa kerja kayak gini?” Tanya saya suatu ketika.
“Enggaklah, Bang. Kalo ga gini pulak... mana makan kami bedua, Bang,” Jawabnya sambil mengarahkan pandang pada adik kecilnya.

#

Itu adalah salah satu rekam keberanian yang ditunjukkannya. Ia berani memilih untuk hidup. Bahkan ia berani untuk juga menghidupi adiknya. Dan itu bukan lewat mengharap belas kasih orang lain. Padahal, jika melihat kaki pincangnya, orang pun pasti lumrah jika kemudian mengemis mengiba yang lantas dilakoninya.

Begitulah sedikit kisah mengenai sebuah keberanian. Ada pilihan, ada keputusan, dan tentu ada resiko. Hanya sang pemberani yang ketika memilih dan memutuskan siap menanggung segala akibat sampingan yang ditimbulkan atas pilihannya. Seperti sang anak yang siap dan yakin memilih untuk menghidupi dirinya juga adiknya. Tak perduli seberapa berat jalan yang harus ia hadapi.

Itulah hidup. Ia memang harus dijalani dengan keberanian dan kesadaran diri yang benar.

“Berani hidup takkan takut mati. Takut mati jangan hidup. Takut hidup mati saja.” (KH. Imam Zarkasy)

(Episode Hidup Si Pengukir Sejarah)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar