Rabu, 17 November 2010

Cinta ini (masih) bukan picisan

Seperti angin yang berhembus kencang. Tak terlihat. hanya mampu dirasa. Dirasakan kerjanya saat ia memindahkan daun-daun yang jatuh berguguran dari pohonnya. Atau saat ia merangsang amuk ombak di laut lepas. Atau saat menyapu gedung-gedung yang berdiri angkuh di kota metropolit. Begitulah cinta. Terlahir menjadi sebuah kata tanpa mampu terurai menjadi benda. Tak terlihat. Hanya terasa. Namun begitu dahsyat.

Pada mulanya sebuah cinta adalah gagasan tentang persoalan membahagiakan dan menumbuhkan orang lain. Lalu cinta menjadi sebuah niatan baik yang menaungi gagasan itu untuk menjadi kenyataan. Sisanya adalah kemampuan.
Cinta yang hanya mampu tumbuh pada batas gagasan dan niatan baik akan tampak seperti pohon rindang namun tak berbuah. Harus ada kemampuan yang mendorongnya.

Sungguh aku merasa kecewa dengan cinta-cinta palsu yang bertebaran di setiap sudut kota. Tidak hanya para dewasa yang mengumbarnya, bahkan remaja pun sudah mulai terjebak di dalamnya. Sayang sekali.

Terima atau tidak. Sejatinya cinta tak kan pernah mengenal duka. Hanya ada bahagia, suka, tawa dan ceria. Jangan pernah kau katakan sebuah cinta kadang membawa petaka. Jangan pernah pula kau ucap cinta adalah sengsara. Itu bukan cinta!!!

Lalu kau bertanya seperti apa rasa cinta yang tiada mengenal duka?

Aku jawab, Silahkan kau pikir sendiri. TITIK.

(Episode Hidup Si Pengukir Sejarah)

Selasa, 16 November 2010

Cinta Ini Bukan Picisan

Berceloteh tentang cinta pada tabiat dasarnya seperti berbicara tentang bagaimana sifat air. Air adalah sumber dari kehidupan. Semua makhluk hidup tercipta darinya. Ia bergerak dari hulu menuju hilir. Tak pernah berhenti. Semakin ditahan semakin menggebu. Mereka bergerak pada jalur-jalurnya. Tapi semua pun hanya akan bertemu pada satu titik, pada sebuah muara besar. Mata air. Dan kembali bergerak. Tak pernah selasai. Tak pernah berhenti. Menuju Muara. Jauh. Sejauh mata memandang. Sejauh petala langit. Melewati batas bianglala. Menyemai kehidupan di setiap tempat yang dilewatinya.

Dalam mata air yang kecil kepada muara yang besar ada aliran. Ada genangan. Ada percikan. Ada debur. Ada gemuruh. Ada gelora. Ada gairah. Ada gerak. Dan selalu adanya begitu. Senantiasa begitu. Senantiasa Istiqomah. Ia membersihkan semua kotoran yang dilaluinya. Seperti layaknya tarian hujan mengusir mendung yang mencemari birunya langit. Ah romantis!

Begitulah cinta. Ia adalah sebuah gagasan jernih tentang kehidupan. Mata airnya adalah niat baik dari sebuah hati yang putih. Sedangkan muaranya adalah kehidupan yang lebih baik. Bisa jadi keluarga SAMARADA, atau mungkin gerbang syurga, boleh juga ujung dari sebuah cita mulia. Alirannya adalah gerakan aksi, gerakan amal yang tak henti. Cinta adalah gagasan tentang pembentukan kehidupan setelah kehidupan terbentuk.

Begitu lahir sebuah niat suci, dan ada muara kehidupan berujung kebaikan yang hendak dihadirkan, maka cinta pun terciptakan, dan cinta menjadi nyata saat ia mulai mengalir. Saat ia melaju. Aliran dan laju itulah yang melahirkan debur bercampur gemuruh dan riak bertemankan ombak. Gairah dan dinamika yang membuatnya ada, nyata, dan eksis.

Seperti air yang berhenti mengalir, kehidupan pun begitu, berhenti bergerak jika tidak mengarah pada sebuah muara besar. Bukankah air yang tergenang selalu mengalami pembusukan. Begitu juga kehidupan yang tidak bergerak, sama saja dengan mati. Kalau tidak cepat-cepat dikubur akan busuk. Bau. Menyusahkan. Merusak dan merugikan lingkungan di sekitarnya.

Begitu pun cinta jika ia hanya sebuah perasaan. Bukan sebuah gagasan. Karena perasaan hanya bagian dari aliran. Bukan aliran. Apalagi muara.

Begitu juga cinta jika hanya timbul dari raga. Lebih parah. Ia hanya sebuah debur, riak. Hanya akan ada jika muncul sebuah aliran. Jika tidak ia hampa. Seperti sebuah nafsu purba yang hidup ketika perasaan bergelora. Entah perasaan apa itu. Tapi yang jelas, tidak akan pernah bisa memberi rasa dan nuansa; keindahan.

Gagasanlah yang mampu melengkapinya. Menyemai raga dan rasa menjadi sebuah bahagia. Ibarat potongan-potongan kata yang berkumpul menjadi sebuah kalimat bermakna. Yaitu gagasan tentang menciptakan hidup yang lebih baik. Lalu bersepakat untuk mewujudkannya. Dalam gagasan itu, jiwa-raga menyatu. Membuncah mengaliri setiap sudut kebaikan, membersihkan setiap sela-sela keburukan. Deburnya terdengar merdu tanda gelora yang beradu. Amboi, sungguh ini adalah karunia, ada pesona yang memercikkan butir-butir kemulian....
(Episode Hidup SI Pengukir Sejarah)

Jumat, 12 November 2010

Secuil Cerita Dari Bilik Angkutan Kota

Ini adalah sebuah kehidupan
Lebih dari sekedar yang bisa kau terka
Jauh dari apa yang selama ini kau kira

Ini adalah sebuah kehidupan
Sempit terlihat bagi diri yang biasa
Namun begitu luas bagi jiwa yang perasa

Ini adalah sebuah kehidupan
Pentas bagi yang hidup dan menghidupkan

****

Sejenak aku diam menatap pongahnya kehidupan. Bangunan yang menjulang, mobil-mobil mewah yang berbaris panjang, serta noni-noni cantik yang berpakaian seperti telanjang adalah buktinya. Memang, sejak tak lagi pergi menikmati hari dengan kendaraan pribadi, aku jadi lebih sensitif dalam merasai warna-warni hidup ini. Hari-hariku saat berada di dalam angkutan kota selalu diisi dengan pengalaman baru yang sangat berharga. Segala manusia berbaur menjadi satu di dalamnya. Mulai dari yang baik, yang bejat, yang kaya, yang miskin, yang menutup aurat, sampai yang terang-terangan membuka aurat ada di sini.Hebatkan?

Menurutku angkutan kota ini seperti sebuah miniatur dunia. Aku belajar banyak darinya. Setiap pagi dan sore hari, selalu saja catatan yang kubuat di handphone-ku terisi oleh perenungan dan pengalaman yang kudapat selama duduk di dalam angkot ini.

Mungkin ini yang dinamakan kesadaran, sesuatu yang memiliki andil besar dalam mengantarkan kita menjadi seorang manusia yang merdeka. Ya, kesadaran. Pengakuan paling hakiki dari nurani dan suara hati. Sadar akan segala dosa adalah salah satu puncaknya. Bagaimana pun juga, seperti layaknya tangga keimanan yang menapak naik, dosa dan kesalahan pun punya tangga menurunnya. Semakin besar sang dosa, maka semakin menghujam  pula ke bawah jurang kenistaan. Maka pastilah perbedaan antara dosa besar dan dosa kecil tidak semata karena bentuknya, tapi juga karena efek kerusakan yang dihasilkannya.

Ingat dan sadar itu menjadi pintu bagi kemerdekaan jiwa. Sebaliknya, penjajahan atas diri sendiri dengan segala bentuk dosa, rantai hawa nafsu, arogansi, egoisme, atau juga penindasan, akan semakin leluasa mendirikan lapak-lapak liar dalam hati apabila kita tak punya banyak kesempatan untuk sadar dan ingat. Itu rahasianya, mengapa orang-orang yang tidak perduli pada jalan kebaikan akan menghindari suasana sepi. Bila tidur harus diantar dahulu oleh dentum musik jahil. Pulang kerja ia langsung melebur diri dalam diskotik yang ramai. Sebab sejenak saja ia punya saat sepi untuk merenung, hatinya akan berontak, dan berkata tidak atas segala penjajahan dirinya. Begitulah yang kulihat dari sesosok lelaki yang dengan santainya mengatakan bahwa diskotik itu adalah tempat kesenangan hakiki. Ia naik angkot dengan tampang rapi dan necis sore itu. Lalu kemudian turun tepat di depan sebuah diskotik yang cukup terkenal.

Sayang sekali ia tak sadar... setiap kesalahan pasti akan mengantarkan diri pada sisi gelap kehidupan. Alangkah ruginya orang-orang yang seperti itu. Sadar atau tidak, dunia ini adalah sebuah pentas. Apa yang gemerlap di atas panggungnya, belum tentu sama di ruang gantinya. Apa yang menawan dan memukau dari segi dramanya, belum tentu sama dengan kehidupan nyatanya. Personifikasi seorang aktor yang tampak begitu sempurna di depan publik dan tampak selalu benar, belum tentu begitu sesungguhnya pada kehidupan nyatanya.

Selalu saja ada sisi kelam yang tersembunyi. Pada setiap manusia. Dari kadar yang sederhana, semisal kebiasaan buruk. Hingga kadar yang mengerikan yang tak perlu kusebutkan. Selalu ada rahasia diri yang hanya kita dan Allah yang tahu.

Hanya orang-orang besar yang berani jujur pada dirinya. Sadar, mengakui dan merenungi segala kesalahannya. Apakah kita termasuk di dalamnya? Yaumil mahsyar yang akan membuktikannya.

****

Begitulah salah satu perenunganku dari bilik angkutan kota. Perenungan dari seorang manusia biasa yang penuh dengan dosa. Seorang manusia, yang jika kau tanya teman-temannya bagaimana dirinya, mungkin keburukan yang akan lebih banyak terungkap dibanding kebaikannya. Seorang manusia yang berharap akan selalu ada waktu sepi untuk sadar dan ingat akan segala dosanya.

(Episode Hidup Si Pengukir Sejarah)

Sabtu, 30 Oktober 2010

Celoteh Pecundang

Aku hanya diam melihat siluet jingga menghiasi mega-mega.
Pikiran ini kubiarkan kosong melayang.
Kehampaan merajai celah-celah hatiku.
Aku gundah.

 *****

Realita dan idealita hidupku tak pernah bisa untuk bersatu.
Aku semakin jauh dari impian-impianku.
Kegagalan seolah menjadi santapan primerku. Membuatku lupa bahwa menu kesuksesan seharusnya menjadi langkah jejakku.
Aku memang pengukir sejarah. Namun, tetap saja sejarah bagaikan pisau bermata ganda.
Kau dapat mengukir sebuah bahagia, atau malah torehan-torehan nista yang akan menghiasinya.

Apa salah jika menjadi seorang pemuda aku memiliki ambisi yang membara?
Jika memang tidak, kenapa terasa sulit untuk menjilat manisnya bahagia?

Dulu aku percaya bahwa di atas langit masih ada langit yang lebih tinggi yang harus kulampaui.
Aku yakin jika terus berusaha maka langitku akan mampu melampaui langit-langit mereka yang hidup dalam tirai-tirai kesuksesan.
Namun, setelah kau pergi, ideologiku berubah. Bagiku saat ini langit ada di atas. Tinggi. Dan mustahil untuk kugapai.

Aku pernah terpuruk dalam lembah nista.
Lalu kemudian bangkit menjadi seorang pemuda berjaya.

Setidaknya selama beberapa lama...
lalu kemudian...seperti yang kukatakan tadi, “kau pergi untuk selamanya...”
dan aku mulai jatuh dalam balutan duka.

Kau katakan kebaikan dan keburukan ibarat dua sisi mata uang...
hidup berdampingan namun saling bertolak belakang.

Hanya itu pesan terakhirmu padaku. Setelah itu kau pergi.
Aku diam. Dan kini aku tak mampu lagi menjadi diriku yang dulu.
Sosok idealita itu seolah ikut terkubur seiring kepergianmu.
Kehabisan nafas dan akhirnya hilang dari edaran waktu

Kini aku hanyalah sosok palsu yang mencoba untuk terus hidup.
Tak perduli walau harus terseok-seok menapakinya.
Biarlah, setidaknya aku masih bisa hidup...Titik

(Episode Hidup Si Pengukir Sejarah)

Senin, 11 Oktober 2010

Pagi dan Semangat untuk Bergegas

Pagi hari adalah semangat. Cerminan dari kehendak. Juga kesegaran di awal waktunya. Bagi orang-orang yang beriman, pagi merupakan inspirasi dari sebuah cinta. Begitulah yang diajarkan Rasulullah. Betapa ia membuktikan cintanya kepada putrinya Fatimah, di waktu pagi yang bertebaran berkah. Cinta Rasulullah untuk hadirnya pagi, adalah cintanya atas ampunan, pembersihan, untuk diri dan keluarganya. Maka seperti yang pernah diriwayatkan Imam Tarmidzi, Rasulullah selama enam bulan, setiap pagi yang masih segar, selalu berjalan di depan tempat tinggal Fatimah. Ia ketuk pintu rumahnya setiap kali hendak melaksanakan shalat shubuh. Rasulullah senantiasa memanggil anaknya, “Shalat, Shalat, wahai keluargaku, sesungguhnya Allah hendak menghilangkan dosa-dosa kalian dan membersihkan kalian sebersih-bersihnya.

Maka pagi tak sekedar sepotong waktu, tapi juga dasar filosofi kehidupan, yaitu filosofi untuk bergegas.
Bukankah pagi selalu datang dalam sekejap?. Ia hanya memberi waktu dan kesempatan dalam detik-detik awalnya. Orang-orang harus berlomba, sedikit saja terabaikan, sesungguhnya mereka telah kehilangan kesempatan. Seperti itulah kehidupan itu sendiri. Selalu ada persaingan, kompetisi, bahkan sampai bergelutan demi mendapatkan sebuah kesempatan. Orang-orang yang hidup dengan semangat dan filosofi pagi benar-benar memahami bahwa persaingan menuju kehidupan ini diawali dari detik pertama kita menginginkan apa yang kita ingini, bahkan sebelum kesempatannya hadir.

Sebab itulah bergegas seperti pagi, adalah kebutuhan setiap manusia. Memahami filosofi pagi dalam kehidupan merupakan kebutuhan setiap mukmin. Sebab hidup adalah perebutan. Siapa yang lalai maka tak akan mendapat.

Maka tak heran bila selalu ada penghargaan pada setiap sambutan pertama, dalam hal apa saja. Dalam Islam dikenal dengan ‘kesegaran sambutan’ (istijabah fauriyah). Yaitu sambutan pada kali pertama. Seperti apresiasi Islam untuk orang yang terlebih dahulu masuk Islam. Yaitu orang-orang yang beriman lebih dulu di masa Rasulullah. Allah menegaskan, bahwa tidaklah sama mereka yang beriman sebelum dibukanya kota Mekkah, dengan mereka yang beriman setelah dibukanya kota Mekkah. Yang pertama yang lebih utama. Bagaimana tidak, Orang yang lebih dulu itu memilih dengan susah payah untuk menjadi Muslim di awal di seruannya. Pada saat orang lain masih berpikir-pikir, menunda-nunda.

Hal ini berlaku pula bagi mereka yang memulai merintis kebajikan, menular dan turun temurun pahalanya. Mereka yang mengawali selalu punya tempat tersendiri dibandingkan yang mengikuti. Rasulullah mengabarkan, barang siapa melakukan sebuah kebajikan, maka baginya pahala kebajikan itu, ditambah pahala kebajikan orang-orang yang meneladaninya, tanpa mengurangi pahala orang-orang yang meneladaninya itu.

Allah swt menggambarkan, mereka yang bersegera menyambut seruan kebaikan, senantiasa membuktikan sambutan itu dalam amal-amal yang segera.
“ Sesungguhnya orang-orang yang berhati-hati karena takut akan (adzab) Tuhan mereka. Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan Tuhan mereka (dengan sekutu apapun). Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka.Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya.”(QS. Al-Mu’minun :57-61).

Selain itu, orang-orang yang hidup dengan filosofi pagi, biasanya selalu mengiringi langkah-langkah hidupnya dengan keberanian.Tentu saja ada pertaruhan di dalamnya. Tetapi mereka mengerti bahwa apa yang ia pertaruhkan adalah sebuah keputusan yang sangat berhubungan dengan keyakinan. Maka tidak ada penyesalan atau ketakutan disini. Seperi keputusan untuk hijrah menjadi lebih baik, untuk apa takut akan menjadi buruk setelah hidup dalam kebaikan? Sesungguhnya orang-orang yang memutuskan dengan keyakinan, ia sangat sadar bahwa keputusannya untuk segera menyambut hidayah Allah.

Maka ia akan dengan berani memilih jalan kebenaran.
Seperti para perempuan yang mengambil keputusan untuk menutup aurat, berjilbab secara santun, menjaga kehormatannya, seketika pada kali pertama kesadaran itu datang. Tentu berbeda dengan mereka yang masih mencoba berpikir-pikir, menunda-nunda, mencoba memberi ruang dialog pada batinnya, apa ia akan berubah. Padahal ia hanya ingin menghibur dirinya atas kelambanannya. Padahal kebenaran itu tidak membutuhkan perdebatan yang rumit. Yang diperlukan adalah keberanian seperti pagi.

Atau seperti para anak muda yang memutuskan untuk menapaki jalan keislaman, segera. Pada kali pertama kemengertiannya datang. Tentu berbeda dengan mereka yang masih menimbang-nimbang, apa ia akan menjadi muslim yang taat? Apa ia tidak akan dianggap sebagai seorang munafik? Apa ia akan mendapatkan pendamping hidup yang sesuai dengan maunya apabila ia menjadi Muslim yang taat?

Selalu ada orang yang gemar menawar.
Termasuk menawar pilihan hidup yang semestinya diputuskan dengan sangat segera. Seperti anak-anak yang matang sisi biologisnya tapi sangat mentah psikologinya. Mereka selalu mengatakan, bahwa memilih jalan menyimpang, hanyalah sekedar tafsiran fakta. Mereka bangga merasa tidak munafik, dengan penyimpangan itu. Toh ia merasa dirinya masih sangat muda. Masih ada hari tua, pikirnya.

Atau orang-orang yang sudah senja usianya. Telah jauh lewat masa paginya.
Tapi toh gairahnya untuk bersegera terlalu tumpul. Tak ada ketaatan yang membanggakan. Tak ada kesadaran yang menghidupkan. Bergegas menuju ketaatan adalah bergegas menuju Allah. Oleh karena itu Bersegeralah.

Orang-orang yang memilih hidup dengan filosofi pagi, biasanya juga meyakini dengan apa yang disebut kemudahan dari Allah swt untuk mereka yang memilih jalan yang diridhai-Nya. Sesuai firman Allah “..dan bertaqwalah kamu kepada Allah, niscaya allah akan mengjari kamu.” (QS Al-Baqarah : 282).


Spirit pagi juga menjelaskan bahwa hidup harus dijalani dengan ketenangan sikap, kematangan sudut pandang.

Tak ada yang seramah pagi. Dalam heningnya ia menenangkan. Dalam segarnya ia menggairahkan. Dalam hangatnya ia menggerakkan. Bila pagi menyapa kita. Di suatu hari. Sambutlah. Lalu jadilah seorang Mukmin yang senantiasa punya gairah untuk bergegas.
.
Jernih dalam melihat, cermat dalam mencatat

(Episode Hidup Si Pengukir Sejarah)