Sabtu, 30 Oktober 2010

Celoteh Pecundang

Aku hanya diam melihat siluet jingga menghiasi mega-mega.
Pikiran ini kubiarkan kosong melayang.
Kehampaan merajai celah-celah hatiku.
Aku gundah.

 *****

Realita dan idealita hidupku tak pernah bisa untuk bersatu.
Aku semakin jauh dari impian-impianku.
Kegagalan seolah menjadi santapan primerku. Membuatku lupa bahwa menu kesuksesan seharusnya menjadi langkah jejakku.
Aku memang pengukir sejarah. Namun, tetap saja sejarah bagaikan pisau bermata ganda.
Kau dapat mengukir sebuah bahagia, atau malah torehan-torehan nista yang akan menghiasinya.

Apa salah jika menjadi seorang pemuda aku memiliki ambisi yang membara?
Jika memang tidak, kenapa terasa sulit untuk menjilat manisnya bahagia?

Dulu aku percaya bahwa di atas langit masih ada langit yang lebih tinggi yang harus kulampaui.
Aku yakin jika terus berusaha maka langitku akan mampu melampaui langit-langit mereka yang hidup dalam tirai-tirai kesuksesan.
Namun, setelah kau pergi, ideologiku berubah. Bagiku saat ini langit ada di atas. Tinggi. Dan mustahil untuk kugapai.

Aku pernah terpuruk dalam lembah nista.
Lalu kemudian bangkit menjadi seorang pemuda berjaya.

Setidaknya selama beberapa lama...
lalu kemudian...seperti yang kukatakan tadi, “kau pergi untuk selamanya...”
dan aku mulai jatuh dalam balutan duka.

Kau katakan kebaikan dan keburukan ibarat dua sisi mata uang...
hidup berdampingan namun saling bertolak belakang.

Hanya itu pesan terakhirmu padaku. Setelah itu kau pergi.
Aku diam. Dan kini aku tak mampu lagi menjadi diriku yang dulu.
Sosok idealita itu seolah ikut terkubur seiring kepergianmu.
Kehabisan nafas dan akhirnya hilang dari edaran waktu

Kini aku hanyalah sosok palsu yang mencoba untuk terus hidup.
Tak perduli walau harus terseok-seok menapakinya.
Biarlah, setidaknya aku masih bisa hidup...Titik

(Episode Hidup Si Pengukir Sejarah)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar