Jumat, 25 Maret 2011

Hadiah Tuhan

Buah hatiku …
Di sini aku menantimu
Menggoresi sebatang pohon rindu
Lalu kuukir menjadi namamu ...

Buah hatiku …
Seperti apa rupamu?
Seperti apa rupa ibumu?
Aku tak tahu ...

Harapku …
Jika waktu itu datang
Izinkan satu pinta kupancang
Terimalah aku sebagai malaikatmu …

Pinggiran Medan, 25 Maret 2011
(Episode Hidup Si Pengukir Sejarah)

Rabu, 23 Maret 2011

Cemburu

Wajahmu ingin kucakar
Kucabik dan kubakar
Tapi tanganku terpancang
Akhirnya aku diam
Lalu merutuk dalam geram

Kini...
Celurit waktu 'tlah kugenggam
Tak urus meski tajam menyayat badan
Namun... hanya perih yang bisa terjerang
Sebab bahagia telah habis kau telan

Biar saja sekarang dosa ini bertaburan
Berserak mengotori  isi lautan
Tuhan, kuminta Kau diam!
Sebab aku tahu
Jahanam adalah tempat pelabuhan

Bread Corner, 23 maret 2011
(Episode Hidup Si Pengukir Sejarah)

Berani!

Dalam kesederhanaan sebuah teori pikir, maka keberanian akan selalu memiliki peran besar dalam upaya pemenangan sebuah persaingan. Begitu juga dalam hidup, keberanian tetap diperlukan. Karena salah satu perspektif kehidupan juga merupakan persaingan, bukan?

Bersebab keberanian selalu mendapatkan tempat positif dalam berbagai cerita zaman, maka tokoh-tokoh kebaikan pun selalu digambarkan dengan keberanian yang tinggi menjulang. Berbicara tentang keberanian dan tokoh yang memerankan, saya punya satu referensi yang dapat saya jadikan acuan tolak ukur keberanian.

Pada salah satu sudut lampu merah jalan metropolitan, saya mengenal sosok seorang anak yang kiranya layak menjadi panutan. Umurnya kira-kira tiga belas tahunan. Wajahnya kumal, namun bola matanya begitu tajam menyiratkan keberanian. Kaki kanannya terlihat agak bengkok, sehingga jika berjalan akan terlihat pincang dan sedikit kesusahan. Hari-harinya dihabiskan berdua dengan adik perempuannya yang kalau ditaksir usianya pasti takkan lebih dari tiga tahunan. Ia bekerja menjual koran. Sedang untung yang bisa ia dapat dari sebuah kertas panjang itu tak lebih dari dua ratusan. Pendapatannya sehari... cukuplah buat makan siang dan malam. Begitu pun ia tetap senang.

Koran dipangku di tangan. Sedang sang adik dipapah selendang di punggung bagian belakang. Lalu ia mulai berjalan. Koran... koran..., itu ucapan khasnya untuk menarik pembeli. Orang tua? Saya tak tahu pasti bagaimana keadaannya. Hanya saja, lewat sekilas cerita yang saya dengar dari bibirnya, katanya sudah tujuh tahun ia tak bertemu dengan mereka.

“Terakhir kali aku liatnya ya di lampu merah ini, Bang,” begitu sedikit penjelasannya.

Senyum terbaik selalu ia persembahkan untuk pelanggan-pelanggannya. Tak perduli apakah saat itu matahari tengah panas bersinar atau mungkin hujan tengah deras mengguyur. Ia tetap tersenyum.

“Ga capek-nya dek kau rasa kerja kayak gini?” Tanya saya suatu ketika.
“Enggaklah, Bang. Kalo ga gini pulak... mana makan kami bedua, Bang,” Jawabnya sambil mengarahkan pandang pada adik kecilnya.

#

Itu adalah salah satu rekam keberanian yang ditunjukkannya. Ia berani memilih untuk hidup. Bahkan ia berani untuk juga menghidupi adiknya. Dan itu bukan lewat mengharap belas kasih orang lain. Padahal, jika melihat kaki pincangnya, orang pun pasti lumrah jika kemudian mengemis mengiba yang lantas dilakoninya.

Begitulah sedikit kisah mengenai sebuah keberanian. Ada pilihan, ada keputusan, dan tentu ada resiko. Hanya sang pemberani yang ketika memilih dan memutuskan siap menanggung segala akibat sampingan yang ditimbulkan atas pilihannya. Seperti sang anak yang siap dan yakin memilih untuk menghidupi dirinya juga adiknya. Tak perduli seberapa berat jalan yang harus ia hadapi.

Itulah hidup. Ia memang harus dijalani dengan keberanian dan kesadaran diri yang benar.

“Berani hidup takkan takut mati. Takut mati jangan hidup. Takut hidup mati saja.” (KH. Imam Zarkasy)

(Episode Hidup Si Pengukir Sejarah)

Selasa, 22 Maret 2011

Hati Yang Meninggi

Surya beranjak merobek jubah sang malam
Dedaunan masih bergumul mesra dengan embun
Bisik-bisik basah asma mulia diperdengarkan
Namun hanya ringkuk biadab yang mampu dipertontonkan
Seolah lupa usia kan habis dipangkas zaman

Sadar selayak denting takjub
Hadir bagai buih yang memecah bibir karang
Setelah itu hilang
Lenyap
Lalu terlupakan

Pongah mengawini kekosongan
Bagai parasit dalam jaring kenistaan
Lalu terbawa mati
Dan jadi simbol kehinaan

(Episode hidup Si Pengukir sejarah)

Kamis, 17 Maret 2011

(Ta’aruf Itu Bernama Toleransi)

Rumah cahaya

Rumah itu kecil

Tapi begitu besar untuk dimakna

Catnya kusam mengelupas

Namun cahayanya begitu terang

Atap-atapnya pun tak pantas untuk di kata

Tapi tetap saja ia mampu menghadirkan sejuta asa dan tawa

Orang di dalamnya hanyalah orang biasa

Namun punya mimpi mulia yang menyentuh moksa lewat tiap goresan pena


Momen Ta’aruf di Rumah Cahaya
(Ta’aruf Itu Bernama Toleransi)
Oleh : Cipta Arief Wibawa

Minggu pagi yang cerah. Seorang pemuda dengan agak tergesa melaju kencang memecah jalan raya dengan sepeda motornya. Sesekali Ia melirik jam di sebelah kanan tangannya. Sejurus kemudian Ia lewat sebuah jembatan dan belok ke sebelah kiri melewati TPU tua yang hidup berdampingan dengan sebuah mesjid. Ah, sungguh angker tempat ini, begitu batinnya sambil terus menambah laju sepeda motornya. Beberapa menit kemudian Ia berhenti tepat di depan sebuah rumah yang tidak bisa dibilang tua, namun sudah terlihat cukup usang. Pandangannya mematung sesaat mengamati rumah yang pasti akan segera jadi bagian hidupnya ini.

“Maaf, Dek anggota FLP juga ya?” Sebuah suara membuyarkan sang pemuda dari rotasi lamunannya. Ternyata seorang lelaki setengah baya yang tengah bertanya padanya.

“Ia, Pak. Ini memang rumahnya.”

“Kalau begitu adik anggota FLP juga, kan? Kenalkan nama saya Hardo.”

“Betul, Pak. Saya memang anggota FLP. Nama saya…”

Belum lagi selesai sang pemuda memperkenalkan namanya dari dalam rumah sudah terdengar panggilan untuk segera masuk. Akhirnya, tanpa pikir panjang mereka berdua segera menuju ke dalam rumah tersebut.

Suasana santai dan menenangkan menyelimuti seisi rumah saat Bang Fadhly yang tak lain adalah Ketua Umum FLP mulai membuka pembicaraan. Di dalam rumah ada begitu banyak orang. Sebagian besarnya adalah anggota-anggota baru (Forum Lingkar Pena) FLP Sumut. Sang pemuda sendiri—yang juga termasuk dalam jejeran anggota baru—dengan kagum dan takhzim terus mendengarkan setiap potong kata yang keluar dari bibir Bang Fadhly itu. Sesekali ia mengangguk-angguk, entah karena setuju dengan sebuah kalimat atau mungkin terkagum-kagum.
Entahlah. Satu saja yang pasti, Ia bahagia.

“Sebentar lagi kita akan memulai sebuah permainan,” Kata Bang Fadhly sambil membetulkan posisi duduknya, “Jadi harap bersiap-siap dulu ya. Yang mau ambil nafas silahkan diambil nafasnya.” Kontan saja, semua orang tertawa mendengar lelucon ringan tersebut.

Bersamaan dengan itu, sebuah kertas yang berjudulkan daftar absensi terus digilir. Pemuda itu baru saja selesai membubuhkan tanda tangan tepat di kolom namanya “Cipta Arief Wibawa”.

Pak Hardo yang sedari tadi duduk di sebelah sang pemuda lantas berkata, “Oh, jadi namanya Cipta, ya?”

“Eh…, iya Pak. Nama saya Cipta. Maaf ya Pak tadi nggak sempat ngenalin nama dulu karena keburu disuruh masuk.”
Kata sang pemuda dengan cepat sambil menatap kolom absen tempat Pak Hardo membubuhkan tanda tangan. Sang pemuda itu agak terkejut melihat nama yang tertera di absen itu. “Sihardo Belinyu”. Dalam hati ia terus mengingat sesuatu yang terasa tak asing terkait nama itu.

Pemuda itu diam tapi otaknya masih lincah meliuk-mengingat setiap sudut memori yang terhampar di dalam kepalanya .

“Wah…, teman-teman. Pak Hardo ini orang yang luar biasa,” Bang Fadhly menatap ke arah Pak Hardo, “Seperti yang teman-teman ketahui, FLP itu adalah sebuah organisasi yang membuka diri untuk siapa saja. Artinya, semua kalangan berhak untuk masuk. Azas Flp yang berdasarkan pada keislaman, keorganisasian, serta kepenulisan itu harus dimaknai secara universal.”

Semua orang mengangguk. Mungkin berpikir bahwa Bang Fadhly secara tersirat ingin mengatakan bahwa orang seusia seperti Pak Hardo tidak akan jadi masalah jika mau untuk terus belajar. Tapi sang pemuda berpikir lain. Ia yakin maksud Bang Fadhly berkata begitu tidak hanya sekedar menyinggung masalah usia saja. Pasti ada hal lain, katanya dalam hati.

“Ayo segera ambil posisi duduk yang nyaman. Permainan kita mulai sekarang…” Bertepatan dengan perintah bermain dari Bang Fadhly, pemuda itu pun telah ingat tentang perihal nama Pak Hardo dan kata-kata Bang Fadhly yang sejak tadi menjadi puzzle di kepalanya.
Kota Bangka. Tidak salah lagi, kalau firasatku benar, Gua Maria, itu salah satu tempat tujuan wisata yang menarik bagi banyak orang, begitu batinnya dalam hati.

Permainan terus berlangsung. Mulai dari permainan mengingat setiap nama peserta hingga permainan menirukan jenis-jenis binatang satwa. Pemuda itu dengan senyum mengembang terus mengikuti jalannya acara. Bagaimanapun juga, tujuan dari permainan ini adalah untuk lebih mendekatkan tiap anggota baru yang umumnya masih merasa asing. Dalam psikologi sendiri, tujuan dilakukannya hal seperti ini adalah untuk menghindari Pluralistic Ignorance, bahasa sederhananya agar para anggota baru mengerti tentang bagaimana FLP itu sendiri dan juga norma-norma yang ada di dalamnya.

Suasana saat itu jelas ramai karena dibungkus dalam rinai keakraban. Penghujung acara pun tiba. Seorang pengurus FLP meminta agar para anggota baru berembuk untuk memilih seorang ketua kelas yang akan meng-koordinir seluruh angkatan. Tugasnya mulai dari penginfoan hingga menentukan siapa setiap minggunya yang akan ber-tilawah dan memberi sedikit tausiyah.

Tiba-tiba seorang peserta meneriakkan nama Pak Hardo dan langsung disambut riuh-setuju oleh hampir seluruh orang yang hadir dalam rumah itu. Sang pemuda terkejut. Ia juga melihat ekspresi yang tak jauh berbeda tergurat dalam tiap sudut wajah Pak Hardo. Jelas sekali keringat Pak Hardo deras bercucuran. Pasti Pak Hardo merasa sungkan dan tidak enak. Bagaimana bisa dia mengkoordinirtilawah dan tausiyah untuk teman-teman. Ini pasti akan jadi masalah baginya, begitu pikir sang pemuda.  Dengan lemah Pak Hardo menatap ke arah pemuda tersebut. Pemuda itu pun dengan cepat mengangguk seolah merasa Pak Hardo tengah berbicara dengannya.

Ia lantas berpikir cepat. Bagaimanapun juga Ia harus mendapatkan solusi agar Pak Hardo tidak dipilih menjadi ketua, namun syaratnya semua orang harus setuju dan tidak menentang argumen yang diberikannya. Aha, pemuda itu tersenyum. Ia lantas mengacungkan tangan.

“Teman-teman, Saya rasa dalam memilih seorang ketua tidak baik langsung asal menunjuk saja tanpa memperhatikan dengan lebih jauh siapa yang ditunjuk,” Sang pemuda menghela nafas sebentar lalu melanjutkan, “Sebagaimana yang kita ketahui, Pak Hardo itu berbeda dengan kita semua yang rata-rata masih menyandang status sebagai mahasiswa, Dia sudah bekerja. Pasti ada lebih banyak persoalan yang harus ia selesaikan dibandingkan dengan kita yang masih mahasiswa…”

Seorang peserta lain mengacungkan tangan dan menyela sang pemuda, “Maaf saudara Cipta. Saya rasa untuk masalah koordinir angkatan bukanlah hal yang sulit. Kita hanya perlu seminggu sekali saja mengkoordinir angkatan kita. Jadi saya pikir ini bukanlah hal yan berat untuk siapa saja termasuk Pak Hardo.”

Para peserta lain ikut mengamini kata-kata peserta itu. Sang Pemuda hanya tersenyum. Dalam hati ia berkata, yes, kena!

“Maaf, kalau masalah berat atau tidak, Saya rasa bukan kita yang menentukan, namun orangnya langsung yang lebih tahu. Mungkin lebih baik kita tanyakan saja pendapat dari Pak Hardo.”

Pak Hardo pun lantas berbicara dan menyatakan ketidaksediaannya menjadi ketua kelas. Akhirnya diputuskan bahwa calon lain yang jadi ketua kelas untuk anggota baru FLP saat ini.

Dalam hati sang pemuda bersyukur seraya menasehati dirinya sendiri. Bagaimanapun perbedaan harus disikapi dengan kepekaan dan kebijakan. Belum tentu apa yang kita rasa baik akan baik juga bagi orang lain. Kuncinya adalah empati dan toleransi. Ah... Hidup ini luar biasa, ujar pemuda itu dalam benak hatinya.

Ramainya Ta’aruf Di Rumah CAHAYA

(Episode Hidup Si Pengukir Sejarah)

Shareta

Teduh cahaya hadirkan pesona bayang asa

Diam tertunduk tak berarti biasa

Rehat sejenak hanya untuk menatap siluet jingga

Melangkah maju menyungging senyum selaksa cinta

Ah … Shareta …


(Episode Hidup Si Pengukir Sejarah)