Selasa, 16 November 2010

Cinta Ini Bukan Picisan

Berceloteh tentang cinta pada tabiat dasarnya seperti berbicara tentang bagaimana sifat air. Air adalah sumber dari kehidupan. Semua makhluk hidup tercipta darinya. Ia bergerak dari hulu menuju hilir. Tak pernah berhenti. Semakin ditahan semakin menggebu. Mereka bergerak pada jalur-jalurnya. Tapi semua pun hanya akan bertemu pada satu titik, pada sebuah muara besar. Mata air. Dan kembali bergerak. Tak pernah selasai. Tak pernah berhenti. Menuju Muara. Jauh. Sejauh mata memandang. Sejauh petala langit. Melewati batas bianglala. Menyemai kehidupan di setiap tempat yang dilewatinya.

Dalam mata air yang kecil kepada muara yang besar ada aliran. Ada genangan. Ada percikan. Ada debur. Ada gemuruh. Ada gelora. Ada gairah. Ada gerak. Dan selalu adanya begitu. Senantiasa begitu. Senantiasa Istiqomah. Ia membersihkan semua kotoran yang dilaluinya. Seperti layaknya tarian hujan mengusir mendung yang mencemari birunya langit. Ah romantis!

Begitulah cinta. Ia adalah sebuah gagasan jernih tentang kehidupan. Mata airnya adalah niat baik dari sebuah hati yang putih. Sedangkan muaranya adalah kehidupan yang lebih baik. Bisa jadi keluarga SAMARADA, atau mungkin gerbang syurga, boleh juga ujung dari sebuah cita mulia. Alirannya adalah gerakan aksi, gerakan amal yang tak henti. Cinta adalah gagasan tentang pembentukan kehidupan setelah kehidupan terbentuk.

Begitu lahir sebuah niat suci, dan ada muara kehidupan berujung kebaikan yang hendak dihadirkan, maka cinta pun terciptakan, dan cinta menjadi nyata saat ia mulai mengalir. Saat ia melaju. Aliran dan laju itulah yang melahirkan debur bercampur gemuruh dan riak bertemankan ombak. Gairah dan dinamika yang membuatnya ada, nyata, dan eksis.

Seperti air yang berhenti mengalir, kehidupan pun begitu, berhenti bergerak jika tidak mengarah pada sebuah muara besar. Bukankah air yang tergenang selalu mengalami pembusukan. Begitu juga kehidupan yang tidak bergerak, sama saja dengan mati. Kalau tidak cepat-cepat dikubur akan busuk. Bau. Menyusahkan. Merusak dan merugikan lingkungan di sekitarnya.

Begitu pun cinta jika ia hanya sebuah perasaan. Bukan sebuah gagasan. Karena perasaan hanya bagian dari aliran. Bukan aliran. Apalagi muara.

Begitu juga cinta jika hanya timbul dari raga. Lebih parah. Ia hanya sebuah debur, riak. Hanya akan ada jika muncul sebuah aliran. Jika tidak ia hampa. Seperti sebuah nafsu purba yang hidup ketika perasaan bergelora. Entah perasaan apa itu. Tapi yang jelas, tidak akan pernah bisa memberi rasa dan nuansa; keindahan.

Gagasanlah yang mampu melengkapinya. Menyemai raga dan rasa menjadi sebuah bahagia. Ibarat potongan-potongan kata yang berkumpul menjadi sebuah kalimat bermakna. Yaitu gagasan tentang menciptakan hidup yang lebih baik. Lalu bersepakat untuk mewujudkannya. Dalam gagasan itu, jiwa-raga menyatu. Membuncah mengaliri setiap sudut kebaikan, membersihkan setiap sela-sela keburukan. Deburnya terdengar merdu tanda gelora yang beradu. Amboi, sungguh ini adalah karunia, ada pesona yang memercikkan butir-butir kemulian....
(Episode Hidup SI Pengukir Sejarah)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar