Kamis, 10 Februari 2011

Kesadaran yang Tersirat


Dalam detik waktu ada undian akan kehidupan. Ada juga undian akan kematian. Aku tak pernah bisa mengerti dengan hidup ini. Kadang begitu kompleks untuk dimakna. Kadang pula ia begitu sederhana untuk dicerna. Rasanya baru kemarin aku mengenakan seragam Sekolah Dasar, namun kini tiba-tiba saja seluruh waktu melemparkan jasadku pada kedewasaan yang menyibukkan.

Ingin sekali rasanya setiap saat seluruh jiwa serta raga menyadari bahwa kematian adalah teman terdekat dalam sebuah kehidupan. Namun selalu saja silau dunia mampu menjauhkan semua kesadaran ini. Kadang aku berpikir, bagaimana jika nanti aku mati dalam keadaan maksiat. Apa kata keluargaku? Apa kata temanku? Dan apa kata dunia?


Benar-benar mengerikan….

Jika saja hari ini aku harus dihadapkan pada pengadilan sang Maha Adil dan kemudian ditunjukkan segala dosa dan maksiat yang pernah kuperbuat, maka kuyakin pasti neraka yang akan kudapat. Dan tentu saja kitab disebelah kiri yang akan kuterima sebagai pertandanya. Astaghfirullah….


Yah…rasanya pasti seperti mengalami kebuntuan dan keputusasaan. Sesekali aku berpikir, mengapa aku yang dipilih untuk hidup. Padahal, masih ada jutaan calon makhluk hidup lain yang mungkin saja dilahirkan oleh ibuku dulu. Mengapa?


Hati kecilku kemudian kudengar berbisik lembut. Itu karena Allah yakin hanya kau yang mampu bertahan dengan baik dalam menjalani segala tetek-bengek kehidupan dunia ini. Hahahaha….


Ya sudahlah, sejenak tinggalkan saja kematian. Toh, ia juga selalu berada di dekat kita. Lebih baik sekarang kita diskusikan kotak amal yang tengah berada di depanku ini. Namanya lucu, “Kotak amal” aku berpikir bahwa ini adalah sebuah kotak yang akan menampung seluruh amal. Namun ternyata tidak, hanya amal yang berbentuk lembaran uang saja yang diterima kotak ini. Sedang amal lain? Tak berbentuk, tak terdefenisi, tak ter-interpretasi sehingga tidak bisa masuk ke dalamnya. Lalu jika memang hanya bisa menampung amal tertentu, kenapa namanya harus kotak amal ya? Ada-ada saja Indonesiaku ini.


Coba dipikir-pikir, dalam sehari berapa kali sih kita bersedekah dengan materi? Kalau aku jujur saja tidak setiap hari. Seminggu sekali mungkin bisa-lah. Sebenarnya, bukan karena tidak bisa setiap hari. Tapi ini karena aku mungkin termasuk orang yang pelit.


Pasti batasan pelit masih belum jelas bagi kalian yang membaca. Baiklah, akan kugambarkan bagaimana pelitnya diriku. Hmm, mulai dari mana ya?


Begini, Saat aku memiliki uang sejumlah seratus dua puluh ribu, terdiri dari uang seratus ribuan dan dua puluh ribuan, maka aku akan menyumbangkan yang dua puluh ribuan . Namun, jika aku memiliki uang seratus dua puluh lima ribu yang terdiri dari selembar seratus ribuan, selembar dua puluh ribuan, dan selembar lima ribuan, maka aku akan menyumbangkan lembar yang lima ribuan. 


Tunggu! Masih ada lagi. Jika aku punya uang sejumlah seratus dua puluh enam ribu, terdiri dari selembar seratus ribuan, selembar dua puluh ribuan, selembar lima ribuan, dan selembar seribuan, maka akan kuambil uang seribuan dan cepat-cepat kumasukkan dalam kotak amal itu. Dan jika aku hanya punya uang seratus ribu, baik itu terdiri dari selembar seratus ribuan, atau mungkin juga terdiri dari dua lembar uang lima puluh ribuan, hampir pasti tidak akan ada yang kurelakan!


Bagaimana? Aku pelitkan?

Yah kalau boleh membela diri aku lebih suka menyebutnya sebagai sebuah sifat manusiawi. Memang begitulah kisah seorang hamba yang tidak pernah dengan baik menerapkan ajaran agamanya. Itulah aku. Dan ini hanya sebagian kecil saja dari dosaku. Sekarang kalian tahu kan mengapa neraka pasti akan dihadiahkan untukku. Bagaimana dengan kalian?



(Episode Hidup Si Pengukir Sejarah)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar