Rabu, 02 Februari 2011

Pada Sebuah Pagi… Ada Cerita

Tak penting seberapa banyak nafas yang kau tarik selama hidup

Yang perlu kau ingat hanyalah seberapa banyak nafas yang terhenti karena decak kagum-mu akan kebesaran Tuhanmu

#

Hidup adalah sebuah keajaiban. Kesempatan untuk hidup adalah sebuah keindahan. Dan manusia adalah sebuah cinta.

*****

Hari ini, saat sebagian besar hamba masih meringkuk dalam nyaman selimut dan terlelap dibuai indah mimpi, aku terbangun. Sungguh syukur kupanjatkan atas nikmat tak terkira ini. Langsung saja aku menuju kamar mandi dan membersihkan hidungku. Ah Rasulullah, kata-katamu dulu sungguh menyejarah. “Jika seseorang dari kalian bangun dari tidurnya,” sesaat Rasulullah menatap dengan penuh kasih para sahabat yang tampak begitu serius mendengarkannya, “Hendaklah ia memasukkan air ke dalam hidung tiga kali, karena sesungguhnya syetan menginap di dalam rongga hidungnya.

Nikmat lain yang tak kalah baik dari bangun pagi adalah karena kau dapat menunaikan ritual kemenangan. Qiyamul lail namanya. Bahkan, Rasulullah pun menjelaskan dengan berapi-api keutamaannya,Sesungguhnya di waktu malam terdapat suatu saat, tidaklah seorang muslim mendapati saat itu, lalu dia memohon kebaikan kepada Allah ‘azza wajalla baik kebaikan dunia maupun akhirat, kecuali Allah akan memperkenankannya. Demikian itu terjadi pada setiap malam.”

Bagaimana mungkin kita sebagai hamba yang hari ini begitu jauh dan tertatih dari keagungan Rasulullah bisa melewatkan kesempatan berharga ini. Janji dari Maha Pencinta tentang kebaikan yang akan diberikanNya, bukan hanya sebatas dunia yang sejatinya fana, namun juga akhirat yang pada hakikatnya adalah sebuah tempat kembali. Subhanallah!

Entah kenapa, seusai shalat, dalam perenungan yang dalam aku teringat akan seorang rekanku. Pernah suatu ketika aku mendengar kisah tentang salah satu episode kehidupannya. Bagiku ini adalah sebuah episode kehidupan yang menyejarah dan memberi hikmah.

****

Suatu hari pernah datang seorang sahabat kepada rekanku ini. Wajahnya begitu sedih dan kegelisahan tampak jelas mengiringinya. “Akhi, ana merasa Allah Tidak adil dalam memberikan nikmat dan cinta bagi hamba-hambanya…,” begitu kata beliau sambil terus menatap kosong ke angkasa luas.

“Kenapa antum sampai berpikir begitu, Akh?” rekanku mencoba menaggapinya.

“Bagaimana tidak akhi, hampir seluruh hari yang ana miliki berusaha ana persembahkan untuk meretas kebaikan dan keberkahan di jalan Allah, amar ma'ruf nahi munkar selalu ana coba terapkan semaksimal mungkin, namun apa hasilnya, akhi? Ana merasa kehidupan ana begitu susah, berbagai masalah seperti tak putus mendera. Sedangkan si fulan yang hari-harinya kita tahu penuh maksiat, sepertinya hidupnya begitu tenang dan nyaman bertabur rezeki. Ini bukti bahwa Allah itu memang tidak adil.”

Hmm… Jika kau menjadi rekanku, apa yang akan kau katakan? Apakah mungkin begini, Akhi, sesungguhnya antum ini hamba Allah yang tidak tahu bersyukur! Kehidupan yang Allah beri itu apa tidak cukup menjadi nikmat yang nyata yang harus antum syukuri? Hidup dalam roda kebaikan seperti sekarang ini apa itu bukan nikmat yang hanya diberikan Allah kepada sedikit hambanya? Akhi, Istighfar! Nyebut Antum!

Mungkin memang ia pantas untuk mendapatkan nasihat seperti itu. Tapi rekanku yang satu ini yakin bahwa nasihat seperti itu bukan solusi terbaik untuk membantu saudaranya dalam menyelesaikan masalah. Maka ia pun berkata, “Akh, ana mau tanya sama antum, Kalau misalnya suatu ketika saat antum sedang berada di lampu merah dan ada pengamen yang bernyanyi dengan suara cempreng dan bikin sakit telinga, apa yang akan antum lakukan?”

Sahabat rekanku itu tampak bingung dengan pertanyaan ini, tapi ia tetap menjawabnya, “Ya jelas cepat-cepat ana kasih uang biar dia segera pergi”

“Lalu akh, kalau seandainya saat itu yang datang seorang pengamen dengan muka teduh dan suara nyanyiannya terdengar indah seperti Ebiet G. Ade, apa yang akan antum lakukan, akh?”

“Kalau memang pengamennya seperti itu, ana biarkan dulu dia menyanyi sampai selesai supaya ana bisa nikmati suaranya, baru setelah itu ana kasih uang, Antum buat apa nanya yang begituan, Akh?”

Rekanku itu tersenyum, lalu memberikan nasihat yang begitu berhikmah bagiku, “Akhi yang baik, begitu jugalah analoginya dengan Allah, akh, ketika ada seorang hamba yang Allah tidak menyukainya karena keburukan akhlak serta perangainya, maka Allah akan cepat-cepat memberikan apa yang ia mau. Namun, ketika ada seorang hamba yang dengan tulus membela agamaNya, dengan setia memuji kebesaranNya, serta selalu ikhlas dalam menerima apa pun ketentuanNya, maka Allah akan menahan dulu malaikat rahmat untuk memberikan permintaannya karena Ia masih ingin berlama-lama melihat hambaNya yang baik itu. Tunggu dulu wahai malaikat, Aku masih ingin melihatnya meminta padaKu. Mungkin begitu kataNya, Akh”

Air mata sahabat rekanku menetes, satu-satu, lalu kemudian mengucur deras tak tertahankan. Paham.

“Wahai akhi,” Rekanku kembali melanjutkan nasihatnya, “Ini hanya sebuah perumpamaan, tapi ana yakin Allah pasti tidak akan menyia-nyiakan hambaNya yang ikhlas dan hidup di jalanNya.”

*****

Seusai menunaikan Shubuh aku telah siap berangkat menuju kampus tercinta. Kebetulan, karena aku tinggal di dalam komplek perumahan, aku harus berjalan kaki kira-kira satu kilometer terlebih dahulu agar bisa mendapatkan angkot. Pagi ini terasa begitu sejuk. Angkot yang biasanya identik dengan bau polusi pun seolah ikut berubah menjadi sejuk dengan bau khas alam pagi.

Aku selalu berpikir bahwa pagi adalah saat yang paling damai. Bayangkan saja, jarang sekali kan ada manusia yang marah-marah di pagi hari. Umumnya emosi negatif masih terlelap tidur saat pagi menghadirkan elok rupanya. Bukti nyatanya supir angkot yang ada di dekatku ini, baru saja mobilnya disalip secara tiba-tiba oleh sepeda motor yang tampak dimudikan dengan kebut-kebutan, ia diam saja, tidak membalas dengan caci dan makian yang umumnya menjadi ciri khas supir angkot kota ini. Sungguh luar biasa sebuah “pagi” itu, kan?

Hanya empat puluh menit waktu yang kubutuhkan untuk sampai di kampus, padahal biasanya bisa sampai satu jam. Alhamdulillah. Kelas masih sepi, hanya ada beberapa mahasiswa yang sudah hadir dan duduk di bangkunya. Satu lagi nikmat bangun di awal pagi.

Setelah meletakkan tas, aku keluar ruangan kelas dan memandang luasnya mega.

Subhanallah! Indah, indah, benar-benar indah hamparan awan yang berbaris rata di angkasa. Warnanya putih dihiasi cahaya kuning matahari yang masih malu-malu menyembul dari ufuk timur. Di sebelah selatan ada burung-burung kecil beterbangan riang suka, sayap-sayapnya dikepak sambil sesekali direntangkan membentuk manuver-manuver indah khas alam raya, lalu kemudian singgah sesaat pada pohon-pohon yang menghijau ceria, untuk kemudian terbang kembali menyukuri kebesaran Tuhannya. Sekali lagi, kuhirup nafas dalam-dalam. Subhanallah.

Pagi yang indah bukan? Apa tadi pagi kalian juga merasakan hal yang sama? Jika ia, alhamdulillah. Jika tidak, maka masih ada kesempatan untuk merasakannya. Caranya mudah. Yang dibutuhkan hanya sebuah kesadaran. Kenapa kesadaran? Sudah jelas, karena hanya dengan kesadaran maka seluruh keajaiban bisa dihadirkan.

Pagi yang kualami sebenarnya adalah pagi yang pasti dirasakan setiap manusia yang hidup di dunia ini. Bahasa mudahnya, ini adalah pagi yang sebenarnya biasa. Namun, yang membuat pagiku berbeda adalah karena ada kesadaran yang coba kuhadirkan ketika melewatinya. Sehingga, seluruh saripati keajaiban pagi kemudian bisa hadir dan menghasilkan decak kagum yang luar biasa.

Sejujurnya ini adalah sebuah rumus kehidupan. Jika kau ingin merasakan keajaiban akan suatu hal, maka cobalah untuk menyadarinya. Jika ingin merasakan keajaiban pagi, maka sadarilah sebuah pagi yang sejuk itu dengan penuh hayat di jiwa. Jika ingin merasakan keajaiban malam, maka sadarilah sebuah malam yang penuh bintang dengan hati yang lapang dan tenang. Jika ingin merasakan keajaiban Islam, maka sadarilah indahnya Islam dengan selalu berusaha dekat pada orang-orang yang telah merasakannya. Dan yang terakhir… Jika ingin merasakan keajaiban sebuah Mitsaqan Ghalizan, maka…. Tersenyumlah. Itu saja.

Jika engkau merasa bahwa segala yang di sekitarmu gelap dan pekat,

tidakkah dirimu curiga

bahwa engkaulah yang dikirim Allah untuk menjadi cahaya bagi mereka?

berhentilah mengeluhkan kegelapan itu,

sebab sinarmulah yang sedang mereka nantikan,

maka berkilaulah!

(Salim A. Fillah)

 (Episode Hidup Si Pengukir Sejarah)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar