Minggu, 06 Februari 2011

Sudut Sebuah Logika

I want to live my life to the absolute fullest
To open my eyes to be all I can be
To travel roads not taken, to meet faces unknown
To feel the wind, to touch to the stars
I promise to discover myself
To stand tall with greatness
To chase down and catch every dream

BECAUSE LIFE IS AN ADVENTURE

*****

Beberapa hari yang lalu saya menghadiri syukuran wisuda salah seorang rekan saya di rumahnya. Hari itu, rekan saya dan keluarganya tampak begitu ceria. Mereka mengadakan acara syukuran yang cukup besar. Anak yatim dan para kaum dhuafa pun diundang dengan maksud ingin berbagi bahagia. Mereka disuguhi hidangan lezat, juga saat pulangnya pun mereka dibekali dengan bahan sembako yang cukup banyak. Indah bukan cara keluarga ini berbagi kebahagiaan?

Saya yakin anda akan menjawab “iya” dengan pasti. Sejujurnya dalam keawamanhati saya, saya juga berpikir bahwa keluarga rekan saya ini sudah benar dan baik dalam mensyukuri nikmat Allah. Yaitu dengan memberi dan berbagi.

Namun, ada satu momen dalam acara itu yang mengusik kesadaran hati saya—seperti yang pernah saya katakan bahwa keajaiban hadir lewat kesadaran, dan maha suci Allah yang telah memberi saya kesempatan untuk sadar saat itu.

Ketika itu, Saat saya sedang asyik bersantap dengan anak-anak yatim, salah seorang dari mereka berkata pelan dengan kawannya, “Nif, rumahnya besar kaliya, ada AC-nya pulak tuh!” kawannya yang sedang menikmati hidangan lezat pun berhenti makan dan mengamati rumah rekan saya itu dengan seksama, “Iya, kaya kali-lah orang ini. Makannya aja enak macem ini. Kapanlah kita bisa tinggal di rumah kayak gini  ya?”

Percakapan mereka memang cukup pelan, namun dapat dengan jelas terdengar di telinga saya. Sejujurnya, saat itu hati saya rasanya sakit; seperti ditusuk, perih sekali. Terasa air mata saya ingin menetes deras saat itu.

Selanjutnya, saya hanya diam dalam acara itu. Saya tatapi wajah para anak yatim dan kaum dhuafa itu satu-persatu. Ternyata benar ada hal kecil yang luput dari perhatian orang-orang yang ada dalam acara syukuran itu. Saya lihat dengan jelas para anak yatim dan dhuafa itu tampak sibuk mengedarkan pandangan mereka pada sekeliling rumah dengan pandangan yang memilukan. Sepertinya mereka iri dan sedih sampai-sampai beberapa dari mereka ada yang menelan air liur saking takjubnya melihat barang-barang mewah yang berjejer di ruang tamu empunya rumah.

Ah, kapan aku bisa punya harta sebanyak ini. Mungkin begitu pikir mereka saat itu. Bahkan, petugas yang menjadi penanggung jawab para kaum marginal itu juga terlihat tak kalah menyedihkan. Sedari tadi ia terus menatapi para pemuda-pemudi kawan-kawan rekan saya yang asyik ber-BBM ria dengan Blackberry-nya. Ia lalu diam dan menunduk. Tak berapa lama, handphone yang ada dikantongnya kemudian berdering nyaring hingga membuat setiap orang yang ada saat itu terdiam sesaat demi mencari tahu asal suara berisik itu. Ah… suara poliponik, desah saya dalam hati. Segera sang petugas mengeluarkan handphone dari kantongnya dan berlari keluar ruangan. Dalam hati saya berpikir mungkin ia malu. Sempat saya lihat sebelum ia pergi nokia tipe 3310 menyembul dari kantongnya dan langsung disembunyikan dalam genggaman tangannya sambil berlari keluar.


#

Dalam ketidaksadaran keajaiban bekerja. Dalam ketidaksadaran banyak hal yang kemudian terlupakan. Dalam ketidaksadaran pula ketimpangan secara tak sengaja diciptakan.

Berbagi adalah hal terindah yang menjadi manifestasi sebuah cinta. Karena memang itulah pekerjaan utama cinta, yaitu memberi. Peristiwa yang saya ceritakan ini jika dilihat secara kasar memang begitu indah. Ada gejolak untuk memberi. Ada sebuah simpati. Ada keinginan untuk berbagi. Dan ada rasa syukur yang berharap dapat memperindah bingkai imani.

Namun dibalik semua itu, ternyata ada ketimpangan yang kemudian menjadi efek sampingnya. Lihat anak yatim dan kaum dhuafa itu! Mereka bersedih. Mereka iri. Mereka malu. Hati mereka merasa susah. Mereka merasa rendah ketika melihat bagaimana mewahnya kehidupan orang-orang kaya yang sedang berbagi itu. Apa ini kebahagiaan yang kita ingin berikan untuk mereka?

Lalu, siapa yang harus disalahkan? Apakah orang-orang kaya yang memiliki niat tulus untuk berbagi itu? Atau mungkin para anak yatim dan kaum dhuafanya? Jawabannya tidak ada yang salah. Hanya caranya saja yang menurut saya kurang tepat.

Seharusnya, ketika kita ingin berbagi kebahagiaan dengan anak yatim dan para kaum dhuafa adalah dengan tidak mengundang mereka datang ke rumah kita. Alangkah mulianya jika kita yang mendatangi langsung kediaman mereka.
Sebab, hati kita ini akan lebih bisa merasakan kesusahan mereka ketika kita berada di tengah-tengah mereka. Melihat bagaimana lingkungan hidup mereka. Tahu bagaimana sulitnya hidup mereka, sehingga kemudian syukur yang semakin kuat bisa hadir dalam hati-hati kita.

Selain itu, kita juga bisa menghindari rasa rendah diri yang mungkin akan mereka rasakan ketika harus bertandang ke rumah kita. Bukankah begitu? Apakah kita tidak ingat Luqman AS pernah menyinggung hal ini secara tersirat lewat nasihat kepada anaknya, Janganlah engkau hinakan seseorang karena pakaiannya, sebab Robb-mu dan Robb-nya adalah sama.

Semoga kita dapat menjadi orang-orang yang peka dalam berbagi dan memberi. Seperti kata Rasulullah dalam haditsnya, Tidak sempurna iman seseorang diantara kamu, sehingga dia mencintai Saudaranya sama seperti mencintai dirinya sendiri.” 

*****

Cinta itu indah. Ia bekerja dalam kehidupan yang luas. Dan inti pekerjaan cinta adalah memberi. Hiduplah bersama cinta, karena akan ada bahagia di tiap kehadirannya.

(Episode hidup Si Pengukir Sejarah)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar